Kamis, 02 Februari 2012

Efisiensi Perbankan Indonesia Terendah di Asia Tenggara

Upaya Bank Indonesia (BI) meningkatkan efisiensi industri perbankan nasional perlu didukung karena akan membantu menurunkan bunga kredit perbankan.

Industri perbankan nasional dinilai harus meningkatkan efisiensi dengan menekan biaya dana (cost of fund) serta biaya operasional (cost to asset ratio).

Efisiensi perbankan Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara di Asia Tenggara.

"Di luar biaya bunga, operasional bank dihitung sebagai cost to asset ratio. Hingga 2010, rasio itu di perbankan Indonesia masih cukup tinggi," ujar pengamat ekonomi, Mirza Adityaswara kepada wartawan ketika ditemui di Kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Jakarta, hari ini.

Pada 2010, cost to asset ratio PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) tercatat 4,5 persen, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) 3,5 persen, dan Bank Mandiri 3,1 persen. Sedangkan bank-bank di negara kawasan sekitar 2 persen, bahkan di Singapura angkanya hanya 1 persen. "Sementara DBS sebesar 1,1 persen, UOB 1,1 persen, dan OCBC 1 persen," imbuh dia.

Menurut Mirza, penghitungan cost to asset ratio lebih tepat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi sebuah bank. Sementara yang terjadi, penghitungan efisiensi dilihat dari rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) atau cost to income ratio.

Dia melihat, upaya Bank Indonesia (BI) meningkatkan efisiensi industri perbankan nasional perlu didukung karena akan membantu menurunkan bunga kredit perbankan.

Hingga kini, suku bunga dasar kredit (SBDK/prime lending rate) perbankan terutama di kredit korporasi sudah mulai menurun. Sebagai contoh, SBDK kredit korporasi di Deutsche Bank hanya 8,5 persen dan di Bank Sumut hanya 9,5 persen. Dengan bunga di level ini, akan memudahkan debitor atau pengusaha memilih pembiayaan dari perbankan.

"Kalau SBDK korporasi masih tinggi, pengusaha akan kabur ke pasar modal. Ini memang ada kompetisi yang tinggi antara kredit perbankan dengan obligasi, pinjaman luar negeri, serta obligasi global," jelas Mirza.

Sedangkan di sisi segmen mikro, Mirza menilai, tingkat bunga kredit masih tinggi karena pemainnya masih terbatas. Untuk itu, BI harus membuat arsitektur agar bank berlomba-lomba masuk ke segmen mikro, sehingga lebih kompetitif, dan sehigga bunga bisa ditekan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.